Designing Buildings and Spaces that Inspire

Posted on Jan 16, 2020

Tidak ada yang tahu hari esok. Atau minggu depan, bulan depan, bahkan tahun depan. Semuanya masih terkunci rapat dalam kotak misteri Sang Pencipta. Pun tak ada yang tahu, kalau mahasiswa “nakal” yang kadang diomeli dosen dan suka seenaknya sendiri, ternyata lima sepuluh tahun kemudian berhasil berkarir cemerlang? 

Mahasiswa itu adalah Jang Rony Yuwono, S.T., kini seorang arsitek pencetak karya-karya inovatif di kancah nasional dan internasional. Berawal dari mahasiswa Prodi Arsitektur UK Petra angkatan 2005 hingga menjadi Founder & CEO PT. Aesler Group International Tbk., Rony punya segudang cerita. 
 

Pelajari Jiwa Arsitektur Sebenarnya di UK Petra

Pengalaman paling berkesannya ketika masih berstatus mahasiswa berasal dari tugas akhirnya, dibimbing Prof. Ir. Lilianny Sigit Arifin, M.Sc., Ph.D.. Proses ini juga yang membentuk pola pikir inovatifnya sebagai seorang arsitek. “Bu Lili pernah bilang ke saya, kamu fokusnya tidak usah teknis dulu, karena teknis bisa dipelajari sambil jalan nanti ketika kamu bekerja. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana kamu berinovasi. Do whatever you like. Do whatever you feel like doing,” kisahnya. Lahirlah karya bertajuk Forest Museum. Dari namanya, mungkin sekilas kita terbayang museum yang hijau dan asri, seperti hutan yang tenang. Namun, Forest Museum malah menunjukkan tanaman-tanaman kering, mati dan gersang. “Saya membuat sebuah museum di mana orang-orang bisa memahami pentingnya penghijauan di kota. Supaya orang tahu, this is what is happening in our country. Pendekatannya emosional,” jelasnya.

Forest Museum milik Rony berhasil menyabet Juara 2 dalam perlombaan tugas akhir milik UK Petra, dan Juara 1 di perlombaan tugas akhir tingkat nasional tahun 2010. “Bu Lili membentuk saya menjadi seorang arsitek yang tidak hanya menggambar, tapi mampu menciptakan inovasi untuk Indonesia yang lebih baik,” simpul pria 32 tahun ini. 
 

Wujudkan Indonesia yang Lebih Baik Lewat Aesler

Selulusnya dari UK Petra tahun 2010, Rony sempat bekerja sebagai staf di bawah arsitek Cosmas Gozali selama kurang lebih setahun. Di tahun 2011, ketika perkembangan ekonomi dan infrastruktur di China sedang pesat-pesatnya, Rony memutuskan menunggangi ombak ini. Berangkatlah ia ke China bersama dua orang teman dan membuka jasa arsitek JRY+ Associates. Di sinilah ia mempelajari dunia bisnis dan kompetisinya. 

Jang Rony Yuwono, S.T., CEO & Founder PT. Aesler Group International Tbk.

2015, ia kembali ke Indonesia dan mendirikan Aesler di Jakarta. Bersama Aesler, Rony ingin menjadi one stop solution untuk kliennya. “Arsitek tidak hanya mendesain gedung, tapi juga problem solution. Bagaimana seorang arsitek memberikan solusi terhadap masalah di ibukota? Misalnya, di Jakarta banjir dan peningkatan harga tanah. Ini adalah masalah-masalah yang harus diselesaikan arsitek lewat desain bangunannya,” jelas Rony. Tujuannya agar seluruh masyarakat Indonesia memiliki hunian. 

Selain itu, Aesler tidak hanya memiliki arsitek, namun juga structural engineer, quantity surveyor, dan sebagainya. “Seseorang yang bahkan hanya membawa tanah kosong saja, mau diapakan? Akan kita aturkan dari awal, business development sampai taktik market, pemasaran, hingga hand-over ke customer. Dari awal sampai akhir,” jelas Rony tentang one stop solution yang diusungnya. Selaras dengan visinya “to inspire and create meaningful experiences for the people and communities we touch”, Aesler menorehkan banyak prestasi yang bermakna. Misalnya, menjadi The Most Innovative Architectural Design Firm 2019 di ajang Realestate Creative Award 2019 berkat inovasi “The Hospital 4.0” yang menerapkan konsep telemedicine dan bangunan mix use. 

Tak hanya inovasi seputar dunia arsitektur, Rony juga berkeinginan Aesler bisa ‘bermain’ di Bursa Efek Jakarta (BEJ) sebagai perusahaan terbuka. “99,9% perusahaan yan ada di BEJ adalah perusahaan asset-based. Perusahaan jasa belum ada. Di mata Indonesia, jasa ini ‘tidak ada nilainya’. Aesler akan mengubah paradigma seluruh Indonesia bahwa perusahaan jasa bisa diterima di publik, perusahaan yang sehat secara aset. Aset kita adalah tim kita, kreativitas kita. Ini aset yang bisa berlipat ganda nilainya,” tuturnya.
 

“Lulus dari UK Petra, kita menjadi sarjana teknik yang mampu memberikan value untuk sebuah gedung. UK Petra tidak hanya memberikan ilmu, tapi juga jati diri dan identitas.”
 

Melihat prestasi dan inovasi kreatifnya, pria kelahiran Malang ini sering dikira lulusan luar negeri. “Padahal saya tidak ada ambil S2 di luar negeri sama sekali. Saya bilang, saya lulusan UK Petra,” tutur Rony, sarat akan rasa bangga. Menurutnya, secara nama Prodi Arsitektur UK Petra masih belum nomor 1 di Indonesia, namun lulusan-lulusannya sangat dapat dibanggakan. Kampus menjadi tempat pembentukan fondasi para mahasiswa, dan itulah yang membuat mereka gemilang dalam berkarir.  “Kalau kampusnya salah, output-nya juga salah,” tuturnya. Menurut Rony, UK Petra membentuk mahasiswanya menjadi entrepreneurs, dan tidak sekadar professionals. Mengutip seorang dosennya, “kita jangan muluk-muluk jadi staf saja,kamu harus bisa berinovasi sendiri, berkembang sendiri, maju sendiri, buka sendiri.” Seluruh alumnus UK Petra berpotensi menjadi satu dari 3% rakyat Indonesia yang menjadi entrepreneur, karena telah dibekali dengan mindset yang benar sejak kuliah.

Tak hanya belajar inovasi, penyampaian emosi, dan ideologi lewat arsitektur UK Petra, Rony juga belajar kerjasama dan sinergi. “Cara orang berbisnis di jaman sekarang dengan 20 tahun yang lalu itu berbeda. Jaman sekarang mengandalkan teamwork. Multiplication effect untuk bisnis itu tidak bisa sendiri, harus bersinergi. Sama ketika mengerjakan tugas di UK Petra. Kalau tidak bersinergi, hasilnya gak bagus,” paparnya. 
 

“Jangan pernah takut salah. Semua pebisnis sukses pasti sudah pernah salah, berkali-kali.” 

Rony mendorong setiap mahasiswa UK Petra saat ini untuk terus belajar, berdiskusi di luar jam kuliah. Membentuk forum-forum eksternal bersama dosen dan rekan-rekan mahasiswa. “Please listen to your lecturer,” tegasnya. Menurutnya, dosen-dosen memberikan ilmu yang berlipat-lipat nilainya daripada yang dibayarkan sebagai uang kuliah. “Setiap kata-kata yang mereka lontarkan, they plant you a seed, dan benih itu baru ketahuan 10 tahun kemudian. Baru terasa, aduh, coba dulu saya dengerin, nyesel banget,” ujarnya sembari tertawa.

Tiga setengah sampai empat tahun di kampus memang bukan waktu yang panjang. Jangan sampai belajar hanya dilakukan di kelas. Ada masa depan yang menunggu untuk dibangun dan dimaknai. Mengutip kata Rony, “berani keluar, berani kotor ‘dikit, lah!”**(den)