English Proficiency: Bagai Pintu Ke Mana Saja
Di lingkungan pergaulan anak-anak muda saat ini, mungkin bicara bahasa Inggris sehari-hari bukan perkara kecil.
Teori yang mungkin sudah dipelajari dari SD, atau bahkan dari kursus-kursus informal di luar sekolah, belum tentu dapat dipraktikkan . Alasannya banyak. Bisa jadi, karena tidak ada teman bicara. Nggak mungkin ‘kan, bicara sendiri? Bisa jadi pula, karena takut dianggap “sok gaya” menggunakan bahasa Inggris sementara teman-teman lain berbahasa Indonesia atau logat daerah. Mungkin juga, malu dan takut salah. ‘Kan masih belajar, kalau salah, malu didengar orang!
Padahal, menurut Dinda Mutiara, mau belajar bahasa apapun — termasuk bahasa Inggris — kalau tidak praktik, tidak bakal lancar. Dinda yang merupakan alumnus Prodi Sastra Inggris angkatan 2009 ini merasakan betul efeknya ketika mengejar karir impiannya — menjadi seorang pramugari. Ini adalah cita-citanya sejak lama, bahkan sebelum memasuki bangku kuliah. Lho, sudah tahu mau jadi pramugari, mengapa memilih Sastra Inggris di UK Petra?
Antara Sastra Inggris UK Petra dan menjadi seorang pramugari.
Bicara soal bahasa, terutama bahasa Inggris, wanita kelahiran 26 November 1991 ini punya perspektif sendiri. “Menurutku, bahasa diperlukan untuk komunikasi, apalagi sekarang di dunia internasional. Bahasa Inggris dan bahasa Mandarin adalah 2 bahasa utama yang dipakai di mana-mana,” tuturnya. Sangat penting untuk mengekspos diri ke bahasa, terutama ketika masih kuliah. Misalnya, lewat tes EPT yang merupakan salah satu syarat yudisium di UK Petra. Sama halnya dengan mata kuliah bahasa Inggris yang tersedia di UK Petra (EAP & EOP). “Kalau di CV ada proficiency bahasa Inggris basic, itu penting. Sekarang semua sudah menggunakan bahasa Inggris. Kalau sudah dibiasakan sejak kuliah, begitu masuk kerja, kamu jadi punya poin tambah dibandingkan yang tidak punya proficiency itu,” tegas Dinda.
Tak hanya itu, dari belajar bahasa, mau melanjutkan studi ke bidang apapun sangat mungkin. Dinda memilih Sastra Inggris UK Petra, karena belajar sastra dianggapnya bisa jadi “pintu ke mana saja” baginya. “Dari Sastra Inggris, aku bisa ke mana saja. Mau kuliah lanjut, aku bisa belajar komunikasi, manajemen, dan lain-lain,” tuturnya. Termasuk, meraih keinginannya menjadi seorang pramugari.
Awak kabin Singapore Airlines ini bercerita, cita-citanya ternyata tidak semudah itu. “Nggak cuma tuntutan fisik, ada syarat tinggi badan minimal, tapi kemampuan komunikasi, bahasa, hingga pronounciation juga dites,” kisahnya. Di sinilah, studinya di Sastra Inggris UK Petra menjadi batu loncatan, karena ia sudah terbiasa bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. “Di Sastra Inggris pun, tidak cuma diajari grammar, tapi juga public speaking,” tambahnya. Apalagi, Dinda adalah pramugari yang berbasis di Singapura, yang tentunya selalu menggunakan bahasa Inggris.
Bicara soal UK Petra, Dinda melihat almamaternya ini sebagai kampus Kristiani yang tidak hanya menekankan akademik pada mahasiswanya, tapi juga spiritual. Ini sejalan dengan pendapatnya — akademik dan spiritual harus seimbang. “Kudu balance ‘lah, kamu cuma mau akademik doang, tapi spiritual nggak ada. Nggak bagus,” cetusnya. Ia melihat UK Petra sebagai kampus yang peduli, memberikan mahasiswanya kesempatan untuk belajar berinteraksi dengan lingkungan dan dunia sosial. “Mulai dari P3KMABA (sekarang WGG, red.), kita bikin mural, mengecat tempat sampah, kita diajari untuk peduli dengan lingkungan sekitar. Belum mulai belajar di kelas, tapi sudah diajari, sebagai mahasiswa, kontribusi apa yang bisa kamu bawa buat lingkungan?” kenang Dinda akan masa-masa kuliahnya sepuluh tahun yang lalu.
Menjadi seorang pramugari tidak mudah, namun Dinda sangat menikmatinya.
Salah kaprah tentang profesi pramugari sering terjadi. “Enak ‘ya, kamu pramugari, bisa ke mana-mana. Tapi ‘kan, kita kerja dulu di pesawat,” Dinda terkekeh. Perjalanan terjauhnya hingga ke Amerika bisa memakan waktu hingga 18 jam. Belum lagi perbedaan zona waktu yang drastis, menuntutnya pintar menjaga kesehatan. Sebagai penumpang saja, perjalanan belasan jam mungkin terasa melelahkan untuk kita. Apalagi sebagai seorang awak kabin, yang notabene “bekerja” di udara saat kita penumpang bisa tidur, makan, dan duduk nyaman di seat masing-masing. Ditambah lagi, Dinda harus peka melihat kondisi, serta berhubungan dengan berbagai tipe penumpang. “Kita dituntut untuk bisa problem solving serta komunikasi. Situational awareness juga harus ada, sensitif dengan lingkungan. Lihat penumpang, apakah dia sakit atau capek? Harus tahu bagaimana cara merespon. Interpersonal dan komunikasi itu nomor 1,” ceritanya. Kemampuan ini juga yang sempat dipelajarinya selama kuliah di UK Petra, dan menurutnya, tidak semua universitas mengajarkan hal itu. Menutup kisahnya sebagai seorang pramugari, Dinda menyatakan kecintaannya akan pekerjaannya. “Semua pekerjaan, kalau kita melakukan apa yang kita suka, senenglah. It’s a difficult job, but it’s fun,” tuturnya.
Expose yourself to language.
Pesan Dinda, tidak perlu takut diejek karena belajar berbahasa Inggris sehari-hari. Belajar bahasa bagaikan belajar menyetir. Kalau cuma belajar teori dan latihan sekali dua kali, tidak akan bisa lancar menyetir. Sama dengan berbahasa. Latihan terus, tidak perlu fokus dengan apa kata orang. “Selama kamu melakukan hal yang benar dan kamu tahu itu bermanfaat untukmu, lakukan saja,” tegas wanita asal Surabaya ini. “That’s the only way to be fluent. Kamu belajar grammar bisa, writing bisa, tapi yang terpenting, apakah kamu bisa bicara?”
Kampus adalah arena latihan terakhir. Lebih baik salah sekarang, daripada salah nanti di hadapan klien, atasan, atau bahkan bawahan. Bagai pintu ke mana saja, kemampuan berbahasa Inggris bisa membawa kita ke manapun — Dinda sudah sampai ke langit, meraih cita-citanya. Kalau kita, akan ke mana? Yuk, mulai perhatikan kemampuan berbahasa dari sekarang!**(den)
Latest News
Penjelasan Tentang Poin Alumni
Office of Institutional Advancement
Biro Administrasi Kemahasiswaan & Alumni
Sentra Innovasi & Kewirausahaan