Jadi Dosen di Luar Negeri Bukan Mustahil

Posted on Feb 04, 2020

Sebuah cerita dari Petranesian di Skotlandia.

Bisa dibilang cukup jarang ada dosen dari negara berkembang dapat menembus prestise mengajar di negeri orang. Budaya riset dan gaya belajar Indonesia yang berbeda membuat orang jarang bermimpi bisa mengajar di negara maju. Namun hal tersebut tetap mungkin bagi Benny Suryanto, B.Eng., M.Eng., PhD, FHEA. Ia sekarang telah menjadi salah satu staff pengajar yang diandalkan di Heriot-Watt University di Edinburgh, ibukota Skotlandia, Inggris Raya. “Di Heriot-Watt, kebetulan saya sendiri yang berasal dari Asia Tenggara, untuk pengajar lain dari Asia biasanya dari China,” ujar Benny.

Benny menyebutkan salah satu faktor mengapa ia bisa menjadi dirinya sekarang adalah pilihan untuk berkuliah di UK Petra. Sejak dari dulu memang UK Petra terkenal dengan kualitas pendidikan teknik sipilnya. “Dulu ketika saya masih kuliah di Prodi Teknik Sipil UK Petra, belajar itu tidak hanya belajar teori. Sehingga sangat berguna ketika kita mau menerapkan ilmunya, kalau cuman menghafal kan pasti cepat lupa,” tandasnya sambil tertawa.

Semasa kuliah pada tahun 2000an, Benny juga aktif mengikuti organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Sipil Petra (HIMASITRA). Benny juga pernah dipercaya menjadi asisten dosen pada waktu ia masih menjadi mahasiswa. Setelah lulus dari Teknik Sipil UK Petra pada tahun 2003, Benny mendapatkan beasiswa S2 untuk studi lanjut di Asian Institute of Technology (AIT) di Thailand. Benny menambahkan, “setelah lulus, saya sempat bekerja sebagai konsultan di Bangkok selama 1 tahun, sebelum akhirnya pindah ke Jepang tahun 2006, setelah mendapatkan beasiswa S3 untuk studi lanjut di University of Tokyo.”

Benny Suryanto, B.Eng., M.Eng., PhD., FHEA (tengah)

Semasa S3, Benny langsung menyelesaikan “maraton” kuliahnya di tahun 2009, sebelum menjadi peneliti di kampus yang sama selama 3 tahun. “Kebetulan saya dapat postdoc fellowship dari pemerintah Jepang, di mana saya bisa melakukan riset secara full-time dan dibiayai penuh oleh negara.”

Ketika ditanya, “bagaimana ‘kok, bisa berakhir di Skotlandia?” “Saya memang ingin berkarir di dunia pendidikan dan waktu itu mencoba melamar di berbagai negara yang berbasis bahasa Inggris.” Benny mengaku saat mencari lowongan dosen di luar negeri itu sangat sulit. “Istilahnya ‘kan, lebih banyak perusahaan dibanding universitas,” tambah Benny. Namun pada titik ini, mengajar dan riset sudah bukanlah lagi pilihan bagi Benny – sudah menjadi hobi sekaligus passion hidupnya.

Benny berpesan bagi mahasiswa Teknik Sipil UK Petra untuk tidak pernah merasa minder dibandingkan mereka di negara maju. Sebagai pengajar, Benny sendiri merasa bahwa ilmu yang ia dapatkan semasa S1 di Petra sama sekali tidak kalah! Namun memang tidak dapat dipungkiri, ada banyak inovasi dan teknologi yang masih belum dipakai di Indonesia. Untuk itu, di era globalisasi ini, ia berharap agar mahasiswa UK Petra selalu berinovasi dan “melek” teknologi. Pesannya, “always strive to learn new things to solve problems faced by the society – that’s when you become a real civil engineer.” (Elizabeth Glory)