Menggenapi Panggilan Tuhan di Ambon
“Melalui UK Petra, nilai diri saya dibangun dan saya melihat panggilan Tuhan dalam hidup saya.”
Lulus seleksi Beasiswa Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2006, Tirsana Wendry Kailola berangkat dari Ambon ke Surabaya untuk menempuh pendidikan sebagai mahasiswi Prodi Sastra Inggris. Wanita kelahiran Agustus 1988 ini memanfaatkan kesempatan belajar sebanyak-banyaknya, terutama dalam berorganisasi. Mulai dari menjadi astor (Asisten Tutorial), anggota HIMASAINTRA (Himpunan Mahasiswa Sastra Inggris Petra), sekretaris BPMF I (Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas), bendahara I di P3KMABA (sekarang WGG, red.), serta anggota dari Persekutuan Pemuda Kristen Maluku (PPKM). Tak hanya itu, perempuan yang akrab dipanggil Tirsa ini juga belajar menemukan panggilan hidupnya ketika berkuliah di UK Petra.
Semua berawal dari proses P3KMABA dan Ethics Enrichment (EE). “Dalam sebuah sesi, ada pembahasan mengenai panggilan hidup. Saya dan teman-teman belajar banyak tentang bagaimana mengenal diri dan panggilan hidup serta apa yang harus kami kerjakan,” kisahnya. Saat itulah Tirsa merefleksikan rencana Tuhan dalam hidupnya. Baginya, memperoleh kesempatan berkuliah di kota besar seperti Surabaya bukan hanya sebuah berkat yang luar biasa dari Tuhan, tapi juga ada tanggung jawab yang sama besar. Selepas dari UK Petra, Tirsa mengajar di Maple Leaf School Surabaya (sekolah Kanada yang dibuka di Surabaya bagian barat) selama kurang lebih 5 tahun. Tahun 2015 ia mengambil S2 Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Widya Mandala, dan kemudian melanjutkan karir sebagai guru bahasa Inggris di SMA Kr. Petra 2 (Manyar).
Namun ia kembali disadarkan akan panggilan hidupnya ketika salah seorang senior dari PPKM bertanya kepadanya, “Setelah lulus S2 mau tetap di Surabaya atau bagaimana?” Tirsa teringat ketika menjadi anggota PPKM, ia dan para mahasiswa Ambon biasanya mengadakan ibadah di Gedung P setiap hari Jumat. Di dalam ibadah itu semua anak selalu berpikir, “Setelah kuliah di Petra, apa ‘sih yang bisa kita lakukan bagi Maluku?” Penyuka buku filsafat ini mulai membandingkan kondisi pendidikan yang ada di Ambon dan Surabaya. Sistem pendidikan di Ambon terlihat sama saja seperti saat dulu ketika ia di bangku SMA, sementara sekolah-sekolah di Surabaya dalam 5 tahun saja memperlihatkan perkembangan yang pesat. “Mungkin ini saatnya aku melakukan hal yang lebih lagi. Gampang mengajar anak-anak di Surabaya karena mereka pada dasarnya sudah bisa bahasa Inggris, fasilitas sudah ada, gedung sekolahnya bagus, tidak terlalu membutuhkan bantuan lebih. Yang harus dipikirkan adalah di Ambon, Maluku. Tempat itu yang justru membutuhkan sentuhan yang lebih besar karena fasilitas dan kualitas guru yang terbatas sehingga kemajuannya lebih lambat,” kata Tirsa dalam hati.
Tahun 2017, Tirsa pulang ke Ambon dan bergabung dengan Yayasan Pendidikan Heka Leka, sebuah lembaga NGO (non-governmental organization, red.) yang peduli akan pendidikan anak Maluku. Yayasan ini didirikan oleh salah satu senior PPKM di tahun 2011. Tirsa mendapati fakta bahwa sebagian besar guru-guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Ambon hanya lulusan SMA yang tidak memiliki latar belakang pendidikan profesional guru, sehingga penerapan pembelajaran di kelas lebih banyak berfokus pada bernyanyi dan mewarnai. Fakta mengejutkan lainnya adalah keberadaan rotan yang digunakan untuk mendisiplinkan anak di dalam kelas PAUD. Hal ini agak menyalahi cara belajar anak usia dini yang seharusnya lebih menyenangkan dan tidak memaksa anak untuk duduk tenang.
Demi memberi kontribusi besar bagi Yayasan Heka Leka serta kemajuan pendidikan di Ambon dan sekitarnya, Tirsa mengikuti seleksi leader muda dari Indonesia Timur untuk mengikuti program Indonesian Young Leaders dan pergi ke Selandia Baru tahun 2018. Ini merupakan program kerja sama antara organisasi Union Aid dengan Kementerian Luar Negeri Selandia Baru dan pemerintah Indonesia. Tujuan program ini adalah untuk melatih anak-anak muda supaya ketika kembali ke daerahnya masing-masing bisa mempercepat sebuah gerakan perubahan. Tirsa bersama 7 orang lainnya mengikuti proses ini selama 6 bulan.
Sepulang dari Selandia Baru, Tirsa, yang dibantu oleh beberapa staf ahli di Selandia Baru dan Jakarta, membuat sebuah inovasi berupa model pelatihan untuk guru PAUD di Maluku. Pelatihan ini berisikan paket upgrade cara mengajar para guru. Mereka diperlengkapi dengan teori perkembangan anak, psikologi anak, serta metode mengajar anak yang baik. Seluruh modul dan skema pelatihan diatur oleh Tirsa dan tim, yang kemudian dicoba terapkan di Pulau Saparua.
Sambutannya positif. Guru-guru PAUD di Pulau Nusalaut yang mendengar keberhasilan pendidikan di Pulau Saparua juga ingin ikut merasakan. Saat inilah Tirsa menemukan kendala terbesar: transportasi. Maluku ibarat Indonesia kecil dengan 1.400-an pulau tersebar dalam 1 provinsi. Untuk bisa mencapai pulau seberang dibutuhkan transportasi laut seperti feri yang disediakan pemerintah. Namun ada beberapa daerah yang tidak bisa dijangkau oleh feri sehingga harus menyewa speedboat yang tarifnya bisa membuat siapa saja yang mendengarnya akan menelan ludah (Rp1.200.000,00-an sekali pulang pergi). Tentu ini menjadi masalah besar bagi Yayasan Heka Leka yang merupakan lembaga NGO yang baru bisa bergerak melalui kegiatan penggalangan dana.
Masalah lain di luar kontrol manusia adalah cuaca. Setiap kali Tirsa dan rekan Heka Leka akan berangkat ke pulau lain, mereka harus rajin menganalisis cuaca dan musim. Di waktu-waktu tertentu ada beberapa pulau yang mengalami musim timur sehingga gelombang laut sangat tinggi. Otomatis, rute perjalanan tidak tersedia. Letak geografis yang terdiri dari pulau-pulau dan tidak tersedianya transportasi laut yang memadai mempengaruhi perkembangan pendidikan di setiap pulau.
Kini Tirsa bekerja sebagai Program Manager di Yayasan Heka Leka. Selain pelatihan guru, Yayasan Heka Leka juga menciptakan sebuah kegiatan bernama Gerakan Maluku Membaca. Yayasan akan mengumpulkan buku-buku pelajaran, bacaan edukatif, dan novel anak/remaja di seluruh Indonesia untuk disalurkan di desa atau dusun kecil yang ada di Maluku. Bagi yang suka traveling saat liburan, bisa ikut program Heka Leka yang bernama Shareveling (sharing while traveling). Ini merupakan salah satu cara menikmati wisata yang tak hanya menikmati keindahan alam di daerah Maluku, namun juga menginvestasikan waktu untuk berkontribusi pada penduduk lokal yang membutuhkan. Kegiatan ini diadakan kapan saja. Tinggal mendaftar, staf dari Yayasan Heka Leka akan menganalisis liburan seperti apa yang disukai dan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Setelah semua telah terkoordinasi, peserta akan dikabari waktu pelaksanaannya. Kegiatan sharing yang akan dilakukan dapat disesuaikan dengan keterampilan yang dimiliki oleh peserta. Hal ini dapat berupa mengajar di sekolah-sekolah, bermain dengan anak di desa atau pelatihan untuk guru dan orangtua. Dapat dipastikan liburan yang dijalani akan lebih meaningful. Hingga saat ini, kebanyakan peserta adalah turis dari Belanda dan Chile.
Tirsa benar-benar bersyukur dia bisa mendapat kesempatan belajar di UK Petra. Bukan soal fasilitas atau kecanggihan yang dibicarakan, karena ada banyak universitas di luar yang selevel atau bahkan lebih canggih dibandingkan UK Petra. Namun satu hal yang ia yakini tidak dapat ditemukan di universitas lain selain UK Petra adalah bagaimana dengan pekerjaan bisa berdampak positif, bermakna, dan menjadi berkat bagi orang lain. Tidak hanya berfokus pada keuntungan diri sendiri, melainkan tetap menjaga integritas ketika menghadapi siapa pun. “Mari gunakan setiap waktu di Petra bukan hanya untuk belajar pengetahuan, tetapi juga berorganisasi. Sehingga ketika keluar dari Petra bukan cuma pintar, tapi punya leadership skill. belajarlah untuk menjadi orang-orang yang berintegritas dalam apapun yang dikerjakan,” tutup Tirsa. **(Ivania Tanoko)
Latest News
Penjelasan Tentang Poin Alumni
Office of Institutional Advancement
Biro Administrasi Kemahasiswaan & Alumni
Sentra Innovasi & Kewirausahaan